Tepat pada tanggal 03 Mei
2018 hari Kamis, Kompas bersama Universitas Telkom Bandung khususnya Open
Library Universitas Telkom mengadakan sebuah seminar berjudul "Hoaks vs
Jurnalisme Presisi" kepada para mahasiswa di Aula Fakultas Industri
Kreatif, Gedung Sebatik Universitas Telkom, Jalan Telekomunikasi No.01
Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Selama seminar berlangsung, saya Yulia Rahel
Brenauli Kaban mendapat banyak wawasan baru dari kedua narasumber yang akan
saya tuangkan di dalam blog ini.
Sebelumnya, nama Kompas
pasti sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Kompas merupakan koran atau
surat kabar yang terkenal di Indonesia dan sudah ada sejak zaman kemerdekaan
dulu. Mengapa diberi nama Kompas? Ternyata nama Kompas diberi langsung oleh
Presiden pertama Indonesia yaitu Bapak Ir. Soekarno Hatta. Menurut Sokearno,
surat kabar yang dulunya bernama Bentara Rakyat memberi arah atau penunjuk arah
bagi Indonesia. Oleh sebab itulah para redaksi sepakat untuk mengubah nama
Bentara Rakyat menjadi Kompas.
Narasumber yang pertama
adalah Pak Ismail Fahmi. Beliau merupakan Founder-Media Kerneis Indonesia
memilih topik tentang hoaks bukan karena alasan yang tidak penting. Beliau
mengangkat topik tersebut dikarenakan hoaks sudah menyebar luas ke lapisan
masyarakat melalui media social. Survei membuktikan bahwa 44,7% responden
mengaku tidak langsung percaya dengan berita yang muncul sedangkan 30%
responden langsung percaya dan menelan informasi tersebut bulat-bulat tanpa
menyaringnya. Bahkan mereka langsung menyebarkan (merepost) berita yang belum
valid keakuratannya tersebut kepada orang lain. Hal inilah yang memperluas
berita hoaks yang susah untuk dihentikan. Para masyarakat yang mempercayai
berita palsu tersebut mengaku menikmatinya. Pak Ismail Fahmi berharap agar
audiens yang hadir di seminar dapat lebih bijak dan cerdas dalam menerima dan
menyaring informasi khususnya mahasiswa yang merupakan generasi millennial.
Untuk itulah seminar hoaks diadakan.
Satu hal yang membuat saya
terkejut adalah fakta yang mengatakan bahwa media sosial yang paling banyak
mengandung dan menyebarkan hoaks adalah twitter. Penelitian IT yang dilakukan
selama 10 tahun membuktikan bahwa twiiter memuat paling banyak fake news.
Bahkan beberapa kecepatan dari berita hoaks twitter memiliki kecepatan 10x
lebih cepat daripada berita yang fakta atau sebenarnya. Saya cukup terkejut
karena saya merupakan pengguna aktif twitter sampai saat ini. Saya masih tidak
percaya bahwa twitter yang notabenenya merupakan jendela informasi di media
sosial adalah sarang fake news. Yang membuat saya agak ternganga adalah saya
selama ini menerima informasi yang kebanyakan palsu.
Untuk mengimbangi fake
news dengan berita yang valid cukup sulit dan prosesnya lama. Mengapa lama?
Mengapa hoaks cepat tersebar? Jawabannya adalah karakter manusia yang suka
dengan hoaks. Hoaks muncul karena kurangnya literasi dalam masyarakat. Arus
informasi yang beredar melalui media menuntut kita masyarakat untuk memiliki
kekmapuan literasi dan pola piker yang kritis termasuk mahasiswa sebagai
generasi penerus. Berita hoaks atau berita bohong seringkali digunakan pihak
tertentu untuk mencapai suatu tujuan dan pastinya merugikan banyak orang. Apalagi
jika menyangkut tentang isu SARA yang merupakan trik paling ampuh untuk
memecahbelah bangsa kita.
Dan bagaimana kiat agar kita bisa selamat dari
hoaks twitter? Twitter banyak dipakai untuk memecahbelah bukan hanya area
nasional bahkan internasional. Banyak sekali pengguna twitter salah menggunakan
twitter untuk kepentingan pribadi. Pada dasarnya hoaks itu sulit dideteksi. Dan
Kompas hadir dengan deretan berita terkini yang ingkat keakuratannya tidak
perlu diragukan lagi. Mari kita lupakan kebencian, kembangkan ilmu, dan
kembangkan passion kita untuk Indonesia.
Wakil Redaktur Pelaksana
Kompas, Pak Sutta Dharmasaputra sebagai narasumber kedua menjelaskan tentang
perkembangan berita hoaks sudah sangat membuat masyarakat resah. Yang sangat
disayangkan adalah sekitar 46,6% yang sudah resah tapi tidak ada satupun yang
bisa melawan hoaks. Jika tidak yakin terhadap suatu informasi, minimal jangan
menyebarkannya. Simpan untuk diri sendiri lalu jadikan pelajaran. Tidak sedikit
masyarakat yang tidak mampu membedakan antara berita jurnalistik dan fake news.
Oleh karena itu, menurut Pak Sutta Dharmasaputra perlu diadakan edukasi untuk
masyarakat, terutama di kalangan kampus.
Beliau mengatakan bahwa
dia benar-benar kewalahan di dunia pers oleh karena hoaks. Masyarakat Indonesia
sekarang sudah terjebak dalam berita hoaks. Sekarang semua orang dengan
mudahnya sesuka hati membuat berita palsu padahal wartawan mempunyai segudang
kode etik untuk membuat sebuah berita. Ketika orang-orang membuat berita tidak
menggunakan kode etik maka akan sangat berbahaya.
Ada dua jenis hoaks yang
dipaparkan oleh beliau, yaitu informasi yang memang tidak berniat menimbulkan
hoaks dan informasi yang benar-benar bohong. Kategori yang pertama berarti
ketika seseorang menyampaikan informasi kepada orang lain yang sudah valid,
orang yang menerima informasi tersebut malah salah tanggap dan menyebarkan
informasi yang diterimanya tersebut ke orang lain, padahal berita yang
sebenarnya itu bukan seperti apa yang ditangkap oleh pikirannya. Lalu kategori
yang kedua merupakan berita yang sengaja faktanya diputarbalikkan oleh oknum
tertentu untuk mencapai tujuan.
Contoh nyata hoaks yang
melibatkan SARA adalah ketika Kompas merilis survey tentang 3,5 tahun kinerja
Presiden Joko Widodo dan Wakli Presiden Jusuf Kalla. Tidak lama setelah survey
tersebut di publish di televisi, muncul selebaran TV Kompas yang grafiknya
dibalik. Mengapa oknum tersebut memilih televisi? Karena masyarakat percaya
bahawa televisi tidak akan berbohong. Itu merupakan niat buruk untuk memutarbalikkan
fakta yang menyangkut isu SARA.
Menurut Pak Sutta Dharmasaputra
jurnalistik sangat penting dan perlu dipahami. Di beberapa negara, kata Pak
Sutta saat ini sudah mulai muncul sisi positif yaitu tumbuhnya kesadaran
tentang betapa pentingnya jurnalistik. Bahkan di dalam sebuah seminar surat
kabar dunia, beberapa pihak mengatakan zaman saat ini merupakan era bangkitnya
jurnalistik. Disaat masyarakat sadar bahwa banyaknya informasi yang tersebar
namun informasi yang berkualitas sedikit, disinilah peran jurnalistik
diperlukan. Jurnalistik bisa memberikan informasi yang jauh berkualitas dan
lebih baik. Selain sebagai pencari data yang benar untuk masa sekarang ini,
jurnalistik juga menjadi menjadi penyeimbang antara redaksi pers dan
masyarakat.
Menurut beliau, jika
terjalin kerjasama antara pers dan masyarakat seperti mahasiswa kampus maka
hoaks dapat dikalahkan. Hal tersebut dikarenakan mahasiswa adalah orang yang
terdidik yang diyakini mampu menerima, menyaring, dan menyebarkan informasi
secara bijak dan cerdas. Selain itu, sudah tugas seorang mahasiswa dapat
diandalkan di masa sekarang ini karena mahasiswa adalah cikal bakal
perkembangan informasi di masa yang akan datang.
Dengan adanya kerjasama
maka penyebaran informasi yang benar akan lebih luas perkembangannya. Bukan
hanya mahasiswa saja yang harus bekerjasama dengan pers, namun seluruh lapisan
masyarakat. Kompas sebenarnya mempunyai amanah untuk membuat berita dengan
kualitas yang baik karena Kompas juga telah membuat produk-produk karya jurnalistik
yang juga di dorong untuk jauh lebih meningkat dari masa ke masa. Bisa dilihat
dari ketepatan maupun kedalamannya data dan makna yang ditunjukkan melalui
Kompas Digital.
Selain itu, salah seorang
Dosen pada jurusan Ilmu Komunikasi, Ibu Rinna Fridiana mengatakan bahwa beliau
sangat menghargai dan mengapresiasi topik yang disampaikan oleh Pak Ismail
Fahmi dan Pak Sutta Dharmasaputra. Menurut beliau hal-hal terkait hoaks seperti
ini sangat perlu untuk diketahui kalangan mahasiswa karena memang sudah kebutuhan
mahasiswa untuk mengerti tentang penyampaian dan penyebaran informasi di era
masa kini. Beliau berharap, dengan adanya seminar ini mahasiswa dapat lebih
cerdas dan dewasa saat menerima informasi. Agar tidak cuma sal menyebarkan
informasi tanpa mengetahui tentang keakuratan dan kejelasan infromasi tersebut.
Di akhir acara, Kompas
bersama Universitas Telkom pun melakukan penandatanganan MoU untuk menjalin
kerjasama dalam menciptakan civitas akademika Universitas Telkom yang bijak
serta tanggap dalam menghadapi fake news atau hoaks dengan produk informasi
digital Kompas. Selain itu, diadakan juga doorprize yang berhadiah voucher
gratis Gramedia kepada 6 orang yang beruntung. Kompas juga menyediakan snack
serta totebag kepada peserta seminar di awal pintu masuk.
Demikian pengalaman dan
ilmu yang saya dapat ketika menghadiri seminar talkshow Kompas yang bertajuk
Hoaks VS Jurnalisme Presisi. Saya sangat puas karena mendapat wawasan baru dari
dua narasumber yang benar-benar hebat dalam berbicara. Semoga ini dapat
bermanfaat bagi siapa pun yang mengunjungi dan membaca blog saya. Dan terakhir
saya menyarankan kepada semua masyarakat agar lebih bijak dalam menerima dan
menyebarkan infromasi agar hoaks tidak merajalela. Sekian dan terima kasih.


