Hoaks VS Jurnalisme Presisi

  • 7:08 AM
  • By Yulia Rahel Brenauli Kaban
  • 0 Comments



Tepat pada tanggal 03 Mei 2018 hari Kamis, Kompas bersama Universitas Telkom Bandung khususnya Open Library Universitas Telkom mengadakan sebuah seminar berjudul "Hoaks vs Jurnalisme Presisi" kepada para mahasiswa di Aula Fakultas Industri Kreatif, Gedung Sebatik Universitas Telkom, Jalan Telekomunikasi No.01 Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Selama seminar berlangsung, saya Yulia Rahel Brenauli Kaban mendapat banyak wawasan baru dari kedua narasumber yang akan saya tuangkan di dalam blog ini. 

Sebelumnya, nama Kompas pasti sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Kompas merupakan koran atau surat kabar yang terkenal di Indonesia dan sudah ada sejak zaman kemerdekaan dulu. Mengapa diberi nama Kompas? Ternyata nama Kompas diberi langsung oleh Presiden pertama Indonesia yaitu Bapak Ir. Soekarno Hatta. Menurut Sokearno, surat kabar yang dulunya bernama Bentara Rakyat memberi arah atau penunjuk arah bagi Indonesia. Oleh sebab itulah para redaksi sepakat untuk mengubah nama Bentara Rakyat menjadi Kompas.

Narasumber yang pertama adalah Pak Ismail Fahmi. Beliau merupakan Founder-Media Kerneis Indonesia memilih topik tentang hoaks bukan karena alasan yang tidak penting. Beliau mengangkat topik tersebut dikarenakan hoaks sudah menyebar luas ke lapisan masyarakat melalui media social. Survei membuktikan bahwa 44,7% responden mengaku tidak langsung percaya dengan berita yang muncul sedangkan 30% responden langsung percaya dan menelan informasi tersebut bulat-bulat tanpa menyaringnya. Bahkan mereka langsung menyebarkan (merepost) berita yang belum valid keakuratannya tersebut kepada orang lain. Hal inilah yang memperluas berita hoaks yang susah untuk dihentikan. Para masyarakat yang mempercayai berita palsu tersebut mengaku menikmatinya. Pak Ismail Fahmi berharap agar audiens yang hadir di seminar dapat lebih bijak dan cerdas dalam menerima dan menyaring informasi khususnya mahasiswa yang merupakan generasi millennial. Untuk itulah seminar hoaks diadakan.

Satu hal yang membuat saya terkejut adalah fakta yang mengatakan bahwa media sosial yang paling banyak mengandung dan menyebarkan hoaks adalah twitter. Penelitian IT yang dilakukan selama 10 tahun membuktikan bahwa twiiter memuat paling banyak fake news. Bahkan beberapa kecepatan dari berita hoaks twitter memiliki kecepatan 10x lebih cepat daripada berita yang fakta atau sebenarnya. Saya cukup terkejut karena saya merupakan pengguna aktif twitter sampai saat ini. Saya masih tidak percaya bahwa twitter yang notabenenya merupakan jendela informasi di media sosial adalah sarang fake news. Yang membuat saya agak ternganga adalah saya selama ini menerima informasi yang kebanyakan palsu.

Untuk mengimbangi fake news dengan berita yang valid cukup sulit dan prosesnya lama. Mengapa lama? Mengapa hoaks cepat tersebar? Jawabannya adalah karakter manusia yang suka dengan hoaks. Hoaks muncul karena kurangnya literasi dalam masyarakat. Arus informasi yang beredar melalui media menuntut kita masyarakat untuk memiliki kekmapuan literasi dan pola piker yang kritis termasuk mahasiswa sebagai generasi penerus. Berita hoaks atau berita bohong seringkali digunakan pihak tertentu untuk mencapai suatu tujuan dan pastinya merugikan banyak orang. Apalagi jika menyangkut tentang isu SARA yang merupakan trik paling ampuh untuk memecahbelah bangsa kita.

 Dan bagaimana kiat agar kita bisa selamat dari hoaks twitter? Twitter banyak dipakai untuk memecahbelah bukan hanya area nasional bahkan internasional. Banyak sekali pengguna twitter salah menggunakan twitter untuk kepentingan pribadi. Pada dasarnya hoaks itu sulit dideteksi. Dan Kompas hadir dengan deretan berita terkini yang ingkat keakuratannya tidak perlu diragukan lagi. Mari kita lupakan kebencian, kembangkan ilmu, dan kembangkan passion kita untuk Indonesia.


Wakil Redaktur Pelaksana Kompas, Pak Sutta Dharmasaputra sebagai narasumber kedua menjelaskan tentang perkembangan berita hoaks sudah sangat membuat masyarakat resah. Yang sangat disayangkan adalah sekitar 46,6% yang sudah resah tapi tidak ada satupun yang bisa melawan hoaks. Jika tidak yakin terhadap suatu informasi, minimal jangan menyebarkannya. Simpan untuk diri sendiri lalu jadikan pelajaran. Tidak sedikit masyarakat yang tidak mampu membedakan antara berita jurnalistik dan fake news. Oleh karena itu, menurut Pak Sutta Dharmasaputra perlu diadakan edukasi untuk masyarakat, terutama di kalangan kampus.

Beliau mengatakan bahwa dia benar-benar kewalahan di dunia pers oleh karena hoaks. Masyarakat Indonesia sekarang sudah terjebak dalam berita hoaks. Sekarang semua orang dengan mudahnya sesuka hati membuat berita palsu padahal wartawan mempunyai segudang kode etik untuk membuat sebuah berita. Ketika orang-orang membuat berita tidak menggunakan kode etik maka akan sangat berbahaya.

Ada dua jenis hoaks yang dipaparkan oleh beliau, yaitu informasi yang memang tidak berniat menimbulkan hoaks dan informasi yang benar-benar bohong. Kategori yang pertama berarti ketika seseorang menyampaikan informasi kepada orang lain yang sudah valid, orang yang menerima informasi tersebut malah salah tanggap dan menyebarkan informasi yang diterimanya tersebut ke orang lain, padahal berita yang sebenarnya itu bukan seperti apa yang ditangkap oleh pikirannya. Lalu kategori yang kedua merupakan berita yang sengaja faktanya diputarbalikkan oleh oknum tertentu untuk mencapai tujuan.

Contoh nyata hoaks yang melibatkan SARA adalah ketika Kompas merilis survey tentang 3,5 tahun kinerja Presiden Joko Widodo dan Wakli Presiden Jusuf Kalla. Tidak lama setelah survey tersebut di publish di televisi, muncul selebaran TV Kompas yang grafiknya dibalik. Mengapa oknum tersebut memilih televisi? Karena masyarakat percaya bahawa televisi tidak akan berbohong. Itu merupakan niat buruk untuk memutarbalikkan fakta yang menyangkut isu SARA.

Menurut Pak Sutta Dharmasaputra jurnalistik sangat penting dan perlu dipahami. Di beberapa negara, kata Pak Sutta saat ini sudah mulai muncul sisi positif yaitu tumbuhnya kesadaran tentang betapa pentingnya jurnalistik. Bahkan di dalam sebuah seminar surat kabar dunia, beberapa pihak mengatakan zaman saat ini merupakan era bangkitnya jurnalistik. Disaat masyarakat sadar bahwa banyaknya informasi yang tersebar namun informasi yang berkualitas sedikit, disinilah peran jurnalistik diperlukan. Jurnalistik bisa memberikan informasi yang jauh berkualitas dan lebih baik. Selain sebagai pencari data yang benar untuk masa sekarang ini, jurnalistik juga menjadi menjadi penyeimbang antara redaksi pers dan masyarakat.

Menurut beliau, jika terjalin kerjasama antara pers dan masyarakat seperti mahasiswa kampus maka hoaks dapat dikalahkan. Hal tersebut dikarenakan mahasiswa adalah orang yang terdidik yang diyakini mampu menerima, menyaring, dan menyebarkan informasi secara bijak dan cerdas. Selain itu, sudah tugas seorang mahasiswa dapat diandalkan di masa sekarang ini karena mahasiswa adalah cikal bakal perkembangan informasi di masa yang akan datang.

Dengan adanya kerjasama maka penyebaran informasi yang benar akan lebih luas perkembangannya. Bukan hanya mahasiswa saja yang harus bekerjasama dengan pers, namun seluruh lapisan masyarakat. Kompas sebenarnya mempunyai amanah untuk membuat berita dengan kualitas yang baik karena Kompas juga telah membuat produk-produk karya jurnalistik yang juga di dorong untuk jauh lebih meningkat dari masa ke masa. Bisa dilihat dari ketepatan maupun kedalamannya data dan makna yang ditunjukkan melalui Kompas Digital.


Selain itu, salah seorang Dosen pada jurusan Ilmu Komunikasi, Ibu Rinna Fridiana mengatakan bahwa beliau sangat menghargai dan mengapresiasi topik yang disampaikan oleh Pak Ismail Fahmi dan Pak Sutta Dharmasaputra. Menurut beliau hal-hal terkait hoaks seperti ini sangat perlu untuk diketahui kalangan mahasiswa karena memang sudah kebutuhan mahasiswa untuk mengerti tentang penyampaian dan penyebaran informasi di era masa kini. Beliau berharap, dengan adanya seminar ini mahasiswa dapat lebih cerdas dan dewasa saat menerima informasi. Agar tidak cuma sal menyebarkan informasi tanpa mengetahui tentang keakuratan dan kejelasan infromasi tersebut.

Di akhir acara, Kompas bersama Universitas Telkom pun melakukan penandatanganan MoU untuk menjalin kerjasama dalam menciptakan civitas akademika Universitas Telkom yang bijak serta tanggap dalam menghadapi fake news atau hoaks dengan produk informasi digital Kompas. Selain itu, diadakan juga doorprize yang berhadiah voucher gratis Gramedia kepada 6 orang yang beruntung. Kompas juga menyediakan snack serta totebag kepada peserta seminar di awal pintu masuk.

Demikian pengalaman dan ilmu yang saya dapat ketika menghadiri seminar talkshow Kompas yang bertajuk Hoaks VS Jurnalisme Presisi. Saya sangat puas karena mendapat wawasan baru dari dua narasumber yang benar-benar hebat dalam berbicara. Semoga ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang mengunjungi dan membaca blog saya. Dan terakhir saya menyarankan kepada semua masyarakat agar lebih bijak dalam menerima dan menyebarkan infromasi agar hoaks tidak merajalela. Sekian dan terima kasih.

You Might Also Like

0 comments